Time Revolution
1st Day
The Accident
Aoi
memperhatikan guru yang sedang mengajar di depan kelas sambil mencatat
tulisan di papan tulis. Seorang pemuda yang duduk di sampingnya
memperhatikannya. “Lho? Ao, mana ayahmu? Telat lagi, ya?”
Aoi
tetap menulis tanpa mengalihkan pandangan kepada temannya. “Sepertinya
begitu.” Setelah menulis beberapa kalimat di dalam bukunya, ia kembali
berbicara. “Ngomong-ngomong, Shou… Sudah kubilang berkali-kali, kan?
Jangan menyingkat namaku seenaknya! Namaku Aoi! A-o-i!”
Shou hanya tertawa mendengar protes temannya. “Ahaha. Kenapa? Kan lebih gampang manggilnya.”
“…
Terserahlah…” Aoi sudah bosan mengingatkannya. Sejak mereka berteman
sewaktu SD, Shou selalu memanggilnya dengan nama panggilan itu.
“Tapi,
ayahmu sama sekali tidak berubah, ya? Selalu telat di hari kunjungan
orang tua…” Shou kembali mengingat-ngingat hari kunjungan orang tua saat
mereka SD dan SMP.
“Mau bagaimana lagi? Kemarin ayah hampir tidak tidur karena mengejar deadline…”
Shou
tersenyum. “Benar juga, ya. Ayahmu kan Shindou Akizuki, novelis
terkenal itu…” Dari kejauhan, terdengar suara langkah kaki seseorang
yang sedang berlari. “Sepertinya sudah datang.”
Aoi menghela nafas. “Ribut seperti biasa…”
Pintu
ruangan kelas itu terbuka. Terlihat seorang pria muda dengan nafas
terengah-engah berdiri di depan pintu. Setelah berusaha menenangkan diri
selama beberapa saat, pria itu mengangkat wajahnya. “… Maaf… Saya
terlambat…”
Sawatari-sensei
yang sedang mengajar di depan kelas memandangnya dengan wajah bosan.
“Shindou-san… lagi-lagi anda…” Sawatari Kou adalah guru yang sudah
sering menjadi wali kelas Aoi sejak SD dan juga merupakan adik kelas
Akizuki di Universitas. Jadi, bisa dibilang kalau ia sudah mengenal
kebiasaan Akizuki dengan sangat baik.
“Maaf! Saya benar-benar minta maaf!” Akizuki menundukkan kepalanya.
Sawatari
menghela nafas. “… Sudahlah, saya mengerti kesibukan anda. Tapi lain
kali, sebisa mungkin, tolong jangan diulangi lagi. Silakan duduk.”
“Saya mengerti… Terima kasih…” Akizuki berjalan menuju ke belakang ruangan sambil menundukkan kepalanya.
Aoi
menghela nafas. Ia sama sekali tidak mengerti kenapa ia bisa memiliki
ayah seperti itu. Setelah berpikir selama beberapa saat, ia menoleh ke
belakang dan langsung terdiam melihat pemandangan yang dilihatnya.
Ayahnya sedang berbicara dengan para orang tua murid penggemarnya dengan
wajah yang terlihat senang. “… Orang itu…”
Sepulang
sekolah, “Aoi! Tunggu! Aoi!” Akizuki mengejar Aoi yang berjalan dengan
langkah cepat di depannya. Aoi mempercepat langkahnya tanpa mempedulikan
teriakan Akizuki. “Aoi! Kenapa marah? Kalau kau masih kesal gara-gara
ayah terlambat, ayah benar-benar minta maaf!”
Aoi menoleh ke belakang dengan ekspresi kesal. “Bukan itu masalahnya! Kalau soal terlambat, sih, aku sudah tidak peduli lagi…”
“Kalau begitu, kenapa…”
Sebelum
Akizuki sempat menyelesaikan kata-katanya, Aoi memalingkan wajahnya. “…
Barusan… ayah kelihatannya senang dikelilingi oleh para orang tua murid
penggemar ayah itu…”
Akizuki terlihat sedikit kaget mendengar kata-kata Aoi, lalu tersenyum.
Melihat senyum Akizuki, Aoi kembali kesal. “Jangan tertawa! Apanya yang lucu!?”
“Hah?
Hmph. Ahaha… Jadi, itu masalahnya?” Akizuki menepuk kepala Aoi. “Tenang
saja. Seluruh hati dan perasaan ayah hanya ayah berikan untuk ibumu,
Haruka.” Akizuki menundukkan kepalanya. “… Meskipun ia sudah meninggal…”
Aoi menyadari suara ayahnya yang terdengar sedikit bergetar.
Setelah
terdiam selama beberapa saat, Akizuki kembali tersenyum. “Sebagai
permintaan maaf, bagaimana kalau kita pergi jalan-jalan? Sudah lama kita
tidak pergi bersama, kan?”
“Bagaimana
dengan pekerjaan ayah? Aku tidak ingin tiba-tiba ditelepon oleh
Hirasaka-san…” Selama ini, kalau Akizuki berusaha untuk kabur dari
deadline, Hirasaka, editor ayahnya akan selalu meneleponnya untuk
menanyakan keberadaan Akizuki. Dan kalau itu terjadi, Akizuki akan
selalu memintanya untuk menyembunyikannya. “Kalau itu terjadi lagi, aku
akan langsung menyerahkan ayah padanya.”
Akizuki tertawa mendengarnya. “Kalau soal itu, tenang saja. Deadlinenya baru saja lewat.”
Aoi
tersenyum. Memang benar, sudah cukup lama sejak terakhir kali ia pergi
bersama dengan ayahnya. Mungkin sudah lebih dari setahun… “… Baiklah
kalau begitu.”
Pulangnya,
Akizuki berjalan dengan ekspresi senang. “Ah, rasanya, sudah lama
sekali sejak terakhir kali aku bisa bersenang-senang seperti ini…”
Aoi
tersenyum mendengarnya. Ia sendiri juga merasa seperti itu. Ia terdiam
sesaat. Padahal, hari ini sangat menyenangkan. Tapi, entah kenapa, ada
perasaan tidak enak yang sejak tadi menghantuinya… “… Ayah… tidak akan
pernah meninggalkanku… seperti ibu, kan…?”
“Eh?” Akizuki terkejut mendengar kata-kata Aoi.
Aoi
tersadar dengan apa yang baru saja dikatakannya. Kenapa ia tiba-tiba
mengatakan hal seperti itu? “Ah, tidak. Lupakan saja…” Aoi tersenyum.
“Oh iya, ayah mau makan apa nanti malam?”
“Spaghetti!!” Akizuki menjawab tanpa berpikir panjang.
“Hah?
Lagi?” Aoi benar-benar tidak mengerti kenapa ayahnya bisa sangat
menyukai spaghetti… “Yah, sudahlah. Aku akan masak yang enak hari ini.”
Pada
saat itu, seorang pria yang membawa pisau berlari ke arah mereka. Di
belakangnya, ada seorang polisi yang mengejarnya. Pria itu menoleh ke
belakang dan melihat polisi itu semakin mendekat. Ia kembali melihat ke
depan dan melihat Aoi dan Akizuki yang berdiri di depannya. Ia berlari
ke arah mereka, menarik tangan Aoi dan mengarahkan pisau ke lehernya.
Akizuki terkejut melihatnya dan langsung berlari ke arah Aoi.
“Berhenti di situ!” Pria itu mendekatkan pisaunya ke leher Aoi. “Kalau tidak, anak ini akan kubunuh.”
Akizuki
menghentikan gerakkannya. Ia memandang Aoi, lalu mengalihkan
pandangannya kepada pria itu. “… Kalau begitu, biar aku saja yang
menggantikannya.” Sambil berbicara dengan pria itu, Akizuki menekan
tombol-tombol di ponselnya.
“Ayah…” Aoi terdiam mendengarnya. “Tidak! Biar aku saja!”
“Aoi… kau…”
Pria itupun kesal mendengar pembicaraan mereka. “Diam! Aku tidak akan mengganti sanderaku!”
Tiba-tiba,
terdengar suara mobil patroli dari kejauhan. Akizuki tersenyum. Aoi
yang menyadari tangan pria itu sedikit gemetar langsung memutar tubuhnya
dan melempar tubuh pria itu. Para polisi pun langsung menangkapnya.
“Huh, mengagetkan saja…”
Akizuki
tertawa sambil berjalan mendekati Aoi. “Ahahaha. Berarti, ada gunanya
juga kau belajar kara… te…” Akizuki menyadari pria itu berusaha
melepaskan diri dari para polisi dan berlari ke arah Aoi sambil
menghunuskan pisau.
Aoi yang menyadari ada yang aneh dengan ayahnya menoleh ke belakang. “Ayah? Ada apa?”
“Aoi! Awas!!” Akizuki berlari ke belakang Aoi untuk melindunginya.
Aoi
terdiam melihat kejadian yang terjadi di depannya. Semuanya terlihat
terjadi begitu cepat. Ia melihat pisau yang dibawa oleh pria itu menusuk
tubuh Akizuki, para polisi berlarian untuk menangkap pria itu, dan
ayahnya yang terjatuh dan mengeluarkan banyak darah. “A… yah…?” Aoi
mendekati tubuh ayahnya yang terbaring di tanah. “Ayah… Ayah! Jangan
mati! Kumohon! Jangan tinggalkan aku! Ayah! AYAH!!”
Aoi
duduk di kursi ruang tunggu di rumah sakit. Shou berdiri sambil
bersandar di dinding di dekatnya. Sudah beberapa jam yang lalu dokter
memberi tahu mereka bahwa semuanya sudah terlambat.
Setelah
lama diam, Shou menoleh ke arah Aoi yang sedang menundukkan kepalanya
tanpa mengatakan apapun. “… Ao, kau sudah duduk di sini selama
berjam-jam… Sekarang sudah malam, ayo pulang.”
Aoi
hanya diam. Beberapa saat kemudian, ia berbicara dengan suara yang yang
lebih terdengar seperti bisikan. “… Maaf, Shou. Aku masih ingin berada
di sini sebentar lagi… Kalau kau mau pulang, pulang saja duluan…”
Shou
menggenggam tangannya. “… Sampai kapan kau mau duduk terus di sini? Aku
tahu kau pasti sedih! Tapi, selama apapun kau menunggu di sini, ayahmu
tidak akan pernah kembali lagi!”
Aoi terkejut mendengar kata-kata Shou. Setelah terdiam selama beberapa saat, Aoi berdiri. “Kau benar. Ayo pulang.”
Shou
mengamati Aoi dari belakang. “Aoi, kau sama sekali tidak berubah, ya…
Tidak pernah menangis atau meneteskan air mata, sekalipun kau sedang
merasa sedih…”
Aoi hanya diam mendengar kata-kata Shou.
Aoi
berjalan memasuki rumahnya. Pada saat itu, ia berjalan melewati dapur.
“Ah, benar juga. Aku kan sudah janji pada ayah untuk memasak makanan
yang enak…” Ia berjalan memasuki dapur.
“Sudah
jadi.” Aoi meletakkan dua piring spaghetti di atas meja dan duduk di
kursi meja makan. Ia mengamati makanan di depannya sambil tersenyum. “…
Spaghetti, ya? Kenapa bisa sesuka itu, sih? Apa nggak bosan? Aku yang
masak saja sudah bosan… Selamat makan, ayah…” Tiba-tiba, setetes air
mata menetes di pipinya. “Eh?” Aoi terlihat kaget melihat air matanya
sendiri. “Ke… Ada apa ini…?” Aoi berusaha menghapus air matanya. “Air
mataku… tidak bisa berhenti… Ahahaha… Kenapa, ya…?” Aoi kembali
mengingat kata-kata Shou beberapa saat sebelumnya. Ia terdiam. “… Kau
salah, Shou… Aku… sama sekali tidak sekuat itu… Makanan ini… sama sekali
tidak ada rasanya… Aku sama sekali tidak bisa merasakan apapun… ayah…”
—–
Shou
memandang meja Aoi, lalu menghela nafas. Tiba-tiba, ada seseorang yang
memukul kepalanya dengan buku dari belakang. “Ukh…” Shou memegangi
kepalanya. Ia sudah tidak asing dengan perlakuan ini. Ini pasti… Shou
menoleh ke belakang. “Shiho!”
“Yo.” Seorang gadis berambut hitam sebahu tersenyum kepadanya.
“Kau…
kenapa memukulku tiba-tiba, sih? Memangnya aku salah apa?” Shou
mengamati Shiho. Gadis itu adalah sahabatnya dan Aoi sejak SMP, seorang
gadis tomboy yang agak kasar, terutama padanya. Entah kenapa, dia sama
sekali tidak pernah melakukannya pada Aoi.
Shiho hanya tertawa. “Habis, kamu melamun terus sih. Lagi mikirin Aoi, ya?”
Shou kembali menghela nafas. “… Itu benar… Sudah hampir seminggu dia tidak masuk…”
“Tapi, apa boleh buat. Diakanbenar-benar akrab dengan ayahnya. Ia pasti sangat terpukul…”
“Kau benar…”
“Ngomong-ngomong, bagaimana kalau pulang sekolah nanti kita pergi ke rumahnya?”
“Ide bagus.”
—–
Aoi
duduk di pinggir jendela sambil melihat ke luar. Ia sama sekali tidak
mempedulikan suara-suara keributan di dalam ruangan itu. Padahal,
ayah baru saja meninggal… Tapi, para keluarga yang lain malah
bertengkar untuk memperebutkan hak asuhku… Sama sekali tidak ada yang
bersedih atas kematian ayah… Aoi tersenyum sinis. Apa mereka pikir aku tidak tahu kalau mereka hanya mengincar harta ayah?
Tiba-tiba,
terdengar suara bel di luar. Aoi membuka pintu dan melihat Shou dan
Shiho yang berdiri di depan rumahnya sambil tersenyum. “… Kalian…”
“Yo! Kami datang untuk memberi semangat padamu.” Mendengar kata-kata teman-temannya, tanpa sadar, Aoi tersenyum.
Pada saat itu, ia kembali mendengar keributan di dalam. Aoi mengepalkan tangannya. Tidak bisa dipercaya… Mereka masih bisa bertengkar di hadapan orang luar… “…
Pergi…”Para keluarga yang berada di dalam terkejut mendengarnya.
“Pergi! Pergi kalian semua! Bisa-bisanya kalian bertengkar di saat ayah
baru saja meninggal!”
“Dia
benar…” Seorang wanita yang sejak tadi hanya diam berdiri. “Aoi pasti
masih bersedih karena kejadian ini. Sangat tidak pantas kalau kita
membahas hal ini sekarang. Kita bahas soal ini lain kali saja.”
Anggota keluarga yang lain saling berpandangan. “Huh, benar juga. Ayo kita pulang.”
Setelah
semua anggota keluarga yang lain pulang, wanita yang sebelumnya
berjalan mendekati Aoi dan menepuk bahunya. “Jangan terlalu dipikirkan.
Mereka memang tidak berperasaan.” Wanita itu mengamatinya selama
beberapa saat. “Aku tidak ingin memaksamu. Tapi, tolong kau pikirkan
tawaranku sebelumnya. Kau pasti tidak ingin tinggal bersama mereka,kan?”
Aoi hanya diam mendengarnya.
“Kalau begitu, tante pulang dulu. Jaga dirimu baik-baik.”
“Aku mengerti.”
Setelah wanita itu pergi, Shou memandang Aoi. “Tidak kusangka anak yang pendiam dan sopan ini bisa berteriak seperti itu.”
“Shou, aku sedang tidak ingin bercanda.”
Shou tersenyum mendengarnya. “Apa kau tidak apa-apa?”
Aoi hanya diam.
Shiho memandangnya. “Aoi, besok kau akan masuk ke sekolah,kan?”
“… Entahlah. Lihat saja besok…”
—–
Di sebuah jalan yang gelap, seorang pemuda memandang sekelilingnya dengan wajah kebingungan. “… Di mana ini…?”
—–
Shiho berlari mendekati Shou yang sedang berjalan di koridor. “Shou! Gawat! Aoi…”
Shou
langsung berlari mengikuti Shiho ke dalam kelas. Di dalam kelas, ia
melihat Aoi sedang memukul salah seorang teman sekelasnya. “Aoi… apa
yang sebenarnya…?”
Salah
seorang teman sekelasnya melihatnya. “Ah, Amamiya. Untung saja kau
datang. Barusan, Shindou tiba-tiba marah karena Itou membicarakan
tentang ayahnya…”
“Aku mengerti.” Shou brjalan mendekati Aoi dan berusaha untuk menenangkannya. “Hentikan, Ao.”
Aoi sama sekali tidak mempedulikan kata-kata Shou. Pada saat ia kembali mau memukul Itou, “Aoi! Kubilang hentikan!”
Aoi
menghentikan gerakannya dan menoleh ke arah Shou. Setelah memandangnya
selama beberapa saat, ia berdiri dan berjalan meninggalkan kelas.
Setelah Aoi pergi, Shou menoleh ke arah Itou. “Kau tidak apa-apa, kan?”
Itou
berusaha berdiri. “Aku tidak apa-apa… Tadinya, aku hanya bermaksud
untuk membuatnya kembali bersemangat. Tidak kusangka, dia… ukh…!” Itou
berusaha menahan sakit.
“Tolong maafkan dia. Mungkin, ia masih belum bisa menerimanya.”
“Aku mengerti. Akulah yang seharusnya minta maaf…”
“… Shou…” Shou menoleh ke arah Shiho yang sedang memandangnya dengan ekspresi khawatir.
—–
Aoi duduk di bawah sebuah pohon besar di halaman sekolah. “… Mau apa kau kesini? Shou.”
Shou
yang berada di belakangnya berjalan mendekati Aoi. “Para guru pasti
tidak akan percaya mendengar apa yang baru saja kau lakukan. Shindou
Aoi, murid teladan sekaligus ketua kelas sekolah ini, baru saja memukul
seorang murid…”
“Aku tidak peduli.”
“Hei, kau tidak perlu bersikap seperti itu,kan? Itou sama sekali tidak bermaksud untuk menyinggungmu…”
“Aku tahu! Aku tahu itu… hanya saja…”
Shou
mengamati Aoi. “Apa kau masih memikirkan soal kemarin?” Mendengar tidak
ada jawaban dari Aoi, Shou kembali memandang ke depan. “Ao, mulai hari
ini, aku akan menginap di rumahmu untuk sementara.”
“Aku mengerti…” Setelah hening selama beberapa saat, Aoi baru menyadari apa yang baru saja dikatakan oleh Shou. “Eh!?”
“Shou… kau serius…?” Aoi yang baru saja membuka pintu memandang Shou dengan wajah aneh.
Shou tersenyum. “Tentu saja,kan? Kalau tidak, untuk apa aku berdiri di depan rumahmu sambil membawa koper?”
“I…
Itu benar… Tapi…” Aoi memperhatikan koper-koper yang berada di samping
Shou. “Lagipula, apa-apaan barang bawaanmu itu? Memangnya mau berapa
lama kau menginap di sini?”
“Kenapa?
Kau tidak suka kalau aku menginap di rumahmu, ya? Padahal, aku kan
melakukan ini karena khawatir padamu, Ao… hiks…” Shou memandang Aoi
dengan mata berkaca-kaca seperti anak anjing yang dibuang.
“Ukh…!” Aoi yang lemah pada wajah memelas langsung menghela nafas. “Baiklah, maafkan aku…”
Shou tersenyum. Yei!! Ia berbalik dan membuat tanda V dengan tangannya.
Aoi memegangi kepalanya dengan tangannya. Entah kenapa perasaanku tidak enak…
Setelah memindahkan semua barang-barang bawaannya, Shou memandang Aoi. “Nah, Ao. Sekarang… Tolong buatkan makanan!”
Benar, kan? Aoi memandang Shou. “Hei, kenapa harus aku? Bukannya kamu juga jago masak?”
“Habis, masakan buatan Aoi lebih enak, sih.”
Aoi memandang Shou dengan wajah aneh. “Jadi, itu tujuanmu yang sebenarnya, ya?”
“Ahahahaha…” Shou hanya tertawa mendengarnya.
Aoi
menghela nafas. “Ya sudah. Tunggu saja di ruang tengah.” Aoi berjalan
menuju ke dapur. Ia mengambil wortel, lalu mencari pisau. Pada saat ia
mengambil pisau itu dan melihatnya…
Terdengar suara barang terjatuh dari arah dapur. Shou yang mendengarnya langsung berlari memasuki dapur. “Ao! Ada apa!?”
“A… Aku…”
Shou melihat tangan Aoi yang gemetar dan menyadari pisau yang terjatuh di lantai. Jangan-jangan… Karena kejadian itu, dia jadi takut melihat pisau…?“Apa kau tidak apa-apa?”
“Aku baik-baik saja…”
Shou
memperhatikan Aoi sesaat, lalu berjalan dan mengambil pisau yang
terjatuh di lantai. “Sudahlah, jangan memaksakan diri. Biar aku saja
yang melakukannya.”
Shou menghela nafas. Kenapa jadi aku yang melakukan semuanya…? Ia
menoleh ke arah pintu dapur. “Lalu, apa rencanamu Aoi?” Shou
memotong-motong sayuran dan memasukkannya ke dalam panci. “Apa kau sudah
memutuskan mau tinggal bersama siapa?”
Aoi menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa. “… Entahlah…”
“Hah?” Shou menoleh ke arah pintu yang menghubungkan dapur dengan ruang tengah.
“Aku
tidak ingin tinggal bersama seorangpun dari mereka…” Aoi meremas
tangannya. “Aku tidak akan membiarkan orang yang hanya menginginkan
harta ayahku tinggal di rumah ini…”
“Kenapa
kau tidak tinggal bersama tante Aono saja? Dia kakak kandung ayahmu,
kan? Lagipula, bukankah waktu itu dia juga menyuruhmu untuk tinggal
bersama dengannya saja?”
“Aku
tidak ingin merepotkannya… Kau tahu kalau wajahku sangat mirip dengan
ayaku, kan? Keberadaanku hanya akan membuatnya sedih…” Aoi terdiam
sesaat. Apalagi, akulah penyebab ayah meninggal… “…
Aku sama sekali tidak mengerti kenapa ayah mau mengorbankan diri untuk
menolongku. Padahal, dibandingkan dengan nyawaku, nyawa ayah jauh lebih
penting… Seluruh dunia jauh lebih membutuhkan ayah daripada aku…”
Pada saat itu, ada seseorang yang berdiri di depan pintu rumah Aoi.
Shou
hanya diam mendengar kata-kata Aoi. “… Kau tidak bisa melihatnya dari
sudut pandangmu sendiri. Kalau kau yang berada di posisi ayahmu pada
saat itu, aku yakin kau juga akan melakukan hal yang sama…”
Tiba-tiba,
terdengar suara bel dari pintu depan. Aoi berdiri dari kursinya dan
berjalan menuju ke pintu untuk membuka pintu. Pada saat ia membuka
pintu, ia terdiam melihat pemuda berpakaian seragam musim panas yang
berdiri di depan pintu rumahnya. Wajah pemuda itu sangat mirip dengan
Akizuki. A… yah…
Pemuda itu tersenyum kepada Aoi. “Kau Aoi, ya? Ini ayah!”
Aoi
terdiam sambil mengamati pemuda itu. Meskipun wajahnya memang sangat
mirip dengan Akizuki, dilihat dari bagian manapun, pemuda yang berdiri
di depannya itu seumuran dengannya. Ditambah lagi, tingginya sedikit
lebih pendek dari Aoi. “Ah, tunggu sebentar…” Aoi berusaha mencerna
semua yang terjadi dengan kepalanya. “Barusan, kau bilang ayah?
Memangnya, apa hubunganmu dengan ibuku?”
“Eh?” Pemuda itu terlihat terkejut mendengarnya. “Bu… bukan itu maksudku… Aku benar-benar ayahmu, Shindou Akizuki.”
“Ayahku baru saja meninggal seminggu yang lalu…”
Pemuda itu kembali terlihat sangat terkejut. “EH!? Apa? Aku… sudah meninggal…?”
Aoi memandang pemuda itu dengan ekspresi bingung.
“Maaf, sebelumnya, apa anda bisa menjelaskan apa maksud anda?” Tiba-tiba, Shou yang baru saja keluar memandang mereka.
Pemuda itu memandang mereka berdua, lalu bercerita. “… Sebenarnya… beberapa hari yang lalu…”
Mereka berdua terdiam mendengar cerita pemuda itu. “… Jadi, maksud anda, anda adalah Shindou Akizuki 20 tahun yang lalu…?”
Pemuda
itu mengangguk. “Aku sendiri tidak mengerti. Beberapa hari yang lalu,
tiba-tiba saja aku terbawa dan tiba di sini. Pada awalnya, aku sama
sekali tidak yakin. Tapi, setelah aku mendengar pembicaraan orang-orang…
mau tidak mau aku harus mempercayainya. Karena itulah, aku menanyakan
rumah ini pada seseorang dan pergi ke sini. Kupikir, diriku di masa
depan bisa membantuku…”
“…
Aku… sama sekali tidak percaya…” Aoi menundukkan kepalanya. “… Aku
sedang tidak tertarik untuk mendengarkan lelucon anda yang sama sekali
tidak lucu ini… Tolong jangan bercanda… Lebih baik anda cepat pergi dari
sini!!” Aoi menutup pintu dengan keras.
Pemuda
itu terkejut melihatnya. “Hei, tu… tunggu dulu! Jangan ditutup! Apa kau
tidak melihat cuaca di luar!? Aku bisa mati kedinginan!!”
Aoi yang masih bisa mendengar suara pemuda itu dari luar sama sekali tidak mempedulikannya. “Huh. Memangnya aku peduli?”
Shou
memandangnya. “Apa kau serius mau membiarkannya di luar seperti itu?”
Shou mengamati cuaca di luar. “Di luar sedang turun salju.”
“Apa peduliku? Aku sama sekali tidak mengenalnya. Mungkin saja ia salah satu dari orang-orang yang hanya mengincar harta ayah.”
“Apa menurutmu dia terlihat seperti itu?”
Aoi hanya diam mendengarnya.
“Daripada itu, aku punya ide.”
Aoi membuka pintu dan memandang pemuda itu dengan ekspresi datar. “Masuklah.”
Pemuda itu berjalan memasuki rumah itu sambil berbisik. “… Kenapa aku bisa punya anak seperti ini…?”
—–
2 hari kemudian,
Aoi
menundukkan kepalanya di depan semua anggota keluarga mereka. “Maaf,
saya tidak bisa menerima tawaran dari kalian semua. Saya tidak bisa
tinggal bersama dengan salah seorang dari kalian.”
Mereka
semua terkejut mendengarnya. “Tunggu dulu, Aoi-kun. Kau kan masih SMA,
masih membutuhkan seorang wali… Kau juga tidak mungkin tinggal
sendirian…”
“Soal itu…”
Pada saat itu, pemuda yang berwajah mirip dengan Akizuki itu berjalan memasuki ruangan. “Akulah yang akan menjadi walinya.”
Mereka semua terkejut melihatnya, terutama Aono. “… kau… Akizuki… tidak, tidak mungkin. Siapa kau sebenarnya?”
“Aku ayahnya Aoi.”
“Ayah!? Apa maksudnya ini?” Salah seorang dari mereka berbicara.
“Tunggu dulu. Memangnya, berapa umurmu?” Salah seorang lainnya bertanya.
“Eh? Ah, 17 tahun…”
“Apa!? 17 tahun!?” Mereka semua kembali terkejut.
Aoi dan Shou pun tampak terkejut mendengarnya. Aku juga baru dengar kalau dia baru berumur 17 tahun…
“Itu berarti umurmu cuma beda setahun dari Aoi! Bagaimana kau bisa menjadi ayahnya!?”
“Aku adalah Shindou A…”
Sebelum
Akizuki sempat menyelesaikan kata-katanya, Shou langsung menutup
mulutnya. “Ah, maaf, dia hanya bercanda. Sebenarnya, dia adalah saudara
jauh Aoi yang selama ini belajar di luar negeri, Shindou A… katsuki…
Iya. Itu benar.” Shou tersenyum kepada mereka
Mereka saling berpandangan. “… Kami baru dengar…”
“Hei, apa-apaan kau!?” Pemuda itu berbisik kepada Shou.
“Apa kau mau menceritakan kejadian yang sebenarnya? Mana mungkin ada yang percaya!”
“Ukh… benar juga…”
Mereka mengamati Aoi dan pemuda itu. “Kalaupun itu benar, kalian sama-sama masih SMA. Harus ada seseorang yang mengurus kalian…”
“Tapi, aku…” Aoi terlihat seperti tidak bisa mengatakan apapun lagi.
Melihat
ekspresi Aoi, Aono berdiri. “Hentikan, kalau memang itu yang mereka
berdua inginkan, biarkan saja. Kita tidak berhak mengatur kehidupannya.”
“Tante Aono…”
Para anggota keluarga yang lain hanya terdiam tanpa bisa mengatakan apapun lagi.
Aono
berjalan mendekati Aoi. “Aoi, jaga dirimu baik-baik. Kau bisa
menghubungiku kapanpun kau membutuhkanku. Sampai jumpa.” Aono berjalan
keluar dari rumah itu.
Di luar, Aono tersenyum. Saudara jauh yang selama ini tinggal di luar negeri, ya…
Aoi memandang kepergian Aono sambil tersenyum. “Terima kasih…”
Pemuda itu mengamati Aono, lalu menoleh ke arah Shou. “Siapa dia? Sepertinya, dia orang baik…”
“Dia Shindou Aono, kakak kandung Shindou Akizuki, ayah Aoi.”
“Eh!?” Pemuda itu terkejut mendengarnya “Yang berusan itu kakak!?”
Aoi menoleh ke arah pemuda itu dan mengamatinya. Aku masih tidak bisa mempercayai kata-katanya. Tapi, untuk saat ini, aku tertolong karena keberadaannya…
Dan
dengan kejadian itu, kehidupan Aoi bersama pemuda yang mengaku sebagai
Shindou Akizuki yang datang dari masa depanpun dimulai…
0 comments:
Post a Comment